Ratapan dan Harapan Bagi Bangsa

  • Bagikan
Pendeta Julian Widodo, M.Th saat menyampaikan khotbah pada perayaan Ibadah Kebangsaan di Jemaat Kaisarea BTN Kolhua, Kota Kupang rabu (18/8)

KUPANG, FLOBAMORA-SPOT.COM – Ratapan dan harapan bagi bangsa merupakan Thema Ibadah kebangsaan yang digelar Majelis Sinode Gereja Masehi Injili Timor – GMIT Rabu malam (18/8). Ibadah Kebangsaan secara virtual itu berlangsung di Jemaat kaisarea BTN Kolhua, Kota Kupang. Pendeta Julian Widodo dalam khotbahnya mengatakan, ratapan erat sekali dengan tangisan. Sebagai manusia semua orang pasti pernah mengalami hal itu.

 

“Pernah menangis. Tetapi tangisan kita kadang belum cukup untuk disebut sebagai sebuah ratapan. Sebab sebuah ratapan lebih dari sekedar meneteskan air mata”, ujar Pendeta Julian.

Ia menambahkan, dalam ratapan ada ucapan yang menyedihkan. Ada keluhan dan jeritan pilu.

 

“Salah satu contohnya seperti drama yang ditampilkan tim liturgi malam ini. Dalam lagu “Ama Amnauto”. Tetapi juga kita dapat melihat hal itu ketika ada peristiwa kedukaan. Di TTS misalnya, kita masih menyaksikan rombongan pelayat datang ke rumah duka dengan sebuah ratapan”, ucap dia.

 

Ia menjelaskan, ratapan itu kadang tanpa disadari memancing air mata dan kesedihan serta dapat membuat semua orang larut dalam suasana kesedihan. Karena itu ada benarnya bahwa walaupun sebuah ratapan itu identik dengan kesedihan tapi di dalamnya ada jalinan relasi batin yang kuat. Ada jalinan makna yang menghubungkan manusia dengan manusia juga dengan Penciptanya. Keduanya saling mengikat dan akhirnya melahirkan solidaritas dan simpati”, tambahnya.

 

Ratapan tidak bermakna untuk diri sendiri tetapi menyentuh nurani sesamanya.

 

Ia menjelaskan, Dalam sebuah harapan manusia bisa merasakan hembusan nafas Allah yang menghidupkan serta menumbuhkan harapan – harapan baru.

 

“Karena itu bagi umat Israel  sebuah ratapan tidak saja bersifat individual tetapi juga bersifat kolektif dan semuanya terarah pada pengakuan dosa bahwa mereka telah salah berjalan. Dalam koteks kitab ratapan itulah yang disebut dosa. Dosa adalah ketika seseorang tersesat dari jalan Tuhan, tidak memenuhi standar hidup yang ditetapkan Allah. Karena itu dalam kitab ratapan pasal 5 ini umat meratap dan menaikkan permohonan agar dipulihkan. Ada pengakuan dosa bahwa mereka telah tersesat dari jalan Tuhan”, terangnya.

 

Ia menyebut dua hal yang patut dicatat dari Pengakuan Dosa yakni Umat telah berdosa kepada Allah, sadar bahwa kenajisan dan pemberontakan kepada Allah telah membuat mereka pantas untuk dihukum. Mereka sadar, murka Allah yang menyala-nyala itu telah membuat mereka ketakutan. Kedua ketidakadilan sosial dalam masyarakat.

 

Ia menjelaskan, dalam sebuah ratapan bukan hanya sebuah tangisan tetapi juga ada kritik.

 

“Ditujukan kepada seorang penguasa yang berlaku sewenang-wenang dan tidak adil. Karena itu menurut sang Peratap itu juga yang menyebabkan Allah menghukum umatNya”, tuturnya.

 

Dalam kaitan dengan perayaan HUT RI ke -76 Pendeta Julian mengatakan, sebagai bangsa perlu meratap dan mengakui segala dosa dan bertobat.

 

“Kita perlu meratap karena banyaknya berita Hoax tentang Covid-19  yang membuat masyarakat bingung antara percaya dan tidak terhadap keberadaan virus itu. Perlu meratap karena masih banyak orang yang membuat kegaduhan mulai dari mahalnya PCR, PPKM dan vaksin. Hari liburpun dijadikan komoditas politik guna mendapatkan panggung. Perilaku kita yang suka sharing tanpa saring semakin meramaikan jagat dunia maya”, jelasnya.

 

Ia mengatakan, di tengah upaya pemerintah mengatasi Covid, rongrongan muncul dari orang-orang yang suka mengail di air keruh. Menggoreng berbagai isu untuk memuluskan langkah ke depan.

 

“Orang bilang tahun 2024 masih jauh tapi gaungnya sudah terdengar dari sekarang. Di tengah pandemic masih ada orang yang tega korupsi dana bantuan sosial. Hal ini bertolak belakang dengan semangat menjadikan Indonesia  sebagai bangsa yang tangguh”, kritiknya.

 

Ia mengatakan, Dalam masa pemulihan pasca Badai siklon Seroja masih banyak yang dibutuhkan untuk pemulihan dalam berbagai hal.

“Perlu gerakan bersama dan itu ditunjukkan oleh jemat GMIT. Badai Seroja mengajarkan kita bahwa sebagai makluk yang rentan kita tidak bisa berjalan sendiri. Melalui tim tangguh seroja, GMIT telah melakukan perannya pada masa tanggap darurat dan sekarang menuju tahap rekonsrtruksi”, ujarnya.

Menurut dia, Dalam kemitraan dengan berbagai pihak baik dalam maupun luar negri, tim tanggap siklon seroja, untuk mendapatkan bantuan, demi menjawab ratapan para korban bencana.

 

“Tidak hanya di kalangan GMIT tetapi juga denominasi lainnya dan non Kristen. Bencana mengajarkan kita bahwa hakekat pemulihan melintasi sekat kelembagaan dan organisasi, agama dan keyakinan, suku dan ras. Sebab ratapan kita adalah ratapan bersama anak bangsa”, tambahn pendeta yang bertugas di TTS ini.

Ia mengatakan, anak bangsa harus tetap optimis bahu membahu mengatasi kesulitan bangsa saat ini. “Terutama mereka yang rentan agar “ratapan kita berubah  menjadi harapan”, pungkasnya. (Inka)

  • Bagikan