Petrus: Pelaku Aniaya 9 Pemuda di Mabar Harus Diproses

  • Bagikan

JAKARTA, FLOBAMORA-SPOT.COM – Peristiwa kekerasan fisik yang diduga dilakukan anggota Polres Manggarai Barat pada 11 Maret 2020, terhadap 9 (sembilan) anak muda di Labuan Bajo, merupakan peristiwa yang kesekian dari peristiwa kekerasan lain yang pernah terjadi sebelumnya, namun publik tidak pernah tahu apakah kasus kekerasan fisik itu berujung dengan proses hukum atau tidak, malah pelakunya tiba-tiba naik pangkat dan jabatan serta pindah ke daerah lain.

“Akibatnya kekerasan fisik yang terjadi di lapangan, masih sering dialami oleh masyarakat dan kondisi demikian merupakan potret buram wajah bopeng polisi di NTT. Harapan kita untuk mendapatkan kualitas Polisi yang profesionalismenya “terukur” atau yang disebut Polisi PROMOTER, masih jauh panggang dari api, karena Polisi masih mengedepankan kekerasan fisik dan mengabaikan wajah penegakan hukum yang berwatak mengayomi, mengedukasi dan memberikan ketentraman tanpa kekerasan,” kata Petrus Selestinus Advokat Senior yang juga Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Advokat Peradi lewat rilis resmi yang diterima Media ini Senin (13/04/2020) pukul 19.00 Wita lewat WhatsApp.

Menurut Petrus, dalam kasus yang terjadi kemarin terdapat 3 (tiga) atau 5 (lima) di antara anak muda di Labuan Bajo mengalami kekerasan fisik hingga pelipis kiri atau kanan bocor, kulit kepala belakang sobek, pipi memar, dan lain-lain membuktikan bahwa penggunaan kekerasan fisik masih menjadi metode yang diandalkan Polisi atas nama penindakan di lapangan. Padahal metode demikian sudah dilarang dan tidak menjadi bagian di dalam prosedur Upaya Paksa sebagaimana diatur dalam pasal 112 ayat (1) KUHAP.

Tindak Pidana Oleh Polri Harus Diproses

Menurut Petrus, masyarakat butuh Polisi yang bertindak tegas, cepat dan taat asas, tetapi masyarakat juga memahami jika di lapangan terjadi ekses berupa kekerasan fisik yang dilakukan oleh anggota Polisi terhadap anggota masyarakat. Namun masyarakat belum melihat buah dari penindakan secara pidana yang dilakukan oleh Pimpinan Polisi terhadap anak buahnya yang melakukan kekerasan fisik untuk dimintai pertanggungjawaban secara pidana.

“Kita menyatakan “PROTES KERAS” dan “MENYESALKAN” apa yang terjadi dengan 9 (sembilan) anak muda di Labuan Bajo, karena anggota Polisi yang diperintahkan atas nama Pengamanan terhadap anjuran Pemerintah untuk Social Distancing dan PSBB demi melindungi warga termasuk 9 (sembilan) anak muda ini  dari ancaman Covid-19, namun yang dikedepankan Polisi adalah kekerasan fisik tanpa memikirkan akibatnya sebagai tindak pidana,” ucap Petrus.

“Kalau saja kekuatan Polisi yang ditugaskan tidak seimbang dengan kekuatan perlawanan 9 (sembilan) anak muda dimaksud, mengapa jumlah anggota Polisi tidak diperbanyak sebelum dilakukan Upaya Paksa, begitu juga klarifikasi Kapolres yang disampaikan melalui releasenya, dikatakan bahwa, anak-anak muda itu melakukan perlawanan lalu anggota Polisi dan Dalmas melakukan Upaya Paksa tanpa menyinggung insiden kekerasan fisik,” tambah Petrus.

Petrus Selestinus yang mengaku sangat geram melihat perlakuan aparat yang semena-mena kepada masyarakat ini menjelaskan, pernyataan Kapolres Mabar bahwa pihaknya melakukan Upaya Paksa, jelas upaya menutup-nutupi kekerasan fisik yang sudah terjadi dengan memanipulasi sejumlah fakta, kemudian mempublish kebohongan itu ke publik, dengan berlindung di balik Upaya Paksa. Padahal Upaya Paksa di dalam pasal 112 ayat (1) KUHAP adalah penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemeriksaan dan wajib lapor Polisi (tanpa ada tahapan tentang kekerasan fisik), jika ada tindak pidana.

AKBP Handoyo Santoso Bersikap Tidak Jujur

“Pertanyaannya apakah upaya membawa 9 (sembilan) anak muda ke Polres Mabar, apakah karena mereka Tertangkap Tangan? untuk tindak pidana apa? Mengingat Kapolres AKBP Handoyo Santoso, menggunakan nomenklatur Upaya Paksa, terhadap 9 (sembilan) anak muda yang disebut sedang berkerumun itu sesungguhnya sedang mengisolasi dirinya sendiri dalam rangka Social Distancing,” tanya Petrus.

Kapolres Manggarai Barat AKBP Handoyo Santoso  dalam releasenya sama sekali tidak menyinggung mengenai luka-luka yang dialami 3 (tiga) atau 5 (lima) anak muda yang terkena Upaya Paksa. Jika kekerasan fisik itu masuk di dalam paket Upaya Paksa, maka kapan hal itu terjadi, apakah di awal sebelum penangkapan atau sesudah atau suka-suka Polisi saat Upaya Paksa dilakukan dan untuk kejahatan apa.

“Tidak adanya klarifikasi dari AKBP Handoyo Santoso, bahwa di TKP terjadi kekerasan fisik terhadap anak-anak muda yang sedang mengisolasi diri secara mandiri, ada yang kulit kepalanya sobek, pelipisnya bocor dengan darah bercucuran, wajah lebam, bisa dinilai publik bahwa AKBP Handoyo Santoso, telah memanipulasi fakta-fakta yang ada dan hanya menonjolkan Prosedur Penugasan Anggotanya ke TKP, untuk melakukan Upaya Paksa. Sikap tegas Polisi memang sangat dibutuhkan, tetapi sikap bijak dan terukur dalam bertugas adalah prinsip utama dari Polisi PROMOTER, yang diadopsi dari nilai nilai dan semangat HAM di dalam KUHAP. Polisi tidak diberi wewenang untuk melakukan pendekatan dengan kekerasan manakala pelaku atau target yang dihadapi masih bisa diajak dialog tidak melakukan perlawanan dengan kekerasan fisik terhadap Polisi,” tutup Petrus. (fwl/red)

Sumber:suluhdesa.com
Pewarta: Fwl/red.

  • Bagikan