Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Sumur Bor dan Pertobatan Ekologis

JAKARTA, FLOBAMORA-SPOT.COM – Penyebab utama kekeringan yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia, disebabkan oleh kerusakan lingkungan hidup. Kerusakan tersebut terjadi dalam bentuk: rusaknya daerah aliran sungai, degradasi lingkungan, berkurangnya daerah resapan air dan laju pembangunan yang tak terbendung.

Menyikapi persoalan kekeringan yang melanda negeri, Pemerintah dan masyarakat saling berkerja sama menanggulanginya. Tujuannya agar ketersediaan air untuk kebutuhan hidup tetap terjaga. Kegiatan kerja sama yang dilakukan tentu disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan masing-masing daerah. Ada yang memilih reboisasi, sebagian lainnya memilih membangun waduk dan ada juga yang memilih mengadakan sumur bor. Kerjasama ini dinilai positif karena membantu kehidupan masyarakat.

Kerja sama itu terlihat juga di daerah Kota Kupang dan Kabupaten Kupang-NTT. Salah satu alternatif yang dipakai untuk mengatasi kekeringan adalah sumur bor. Pemerintah aktif membantu warga masyarakat lewat pengadaan sumur bor. (Bdk Halaman sembilan.com edisi 1/10/2019). Suatu kebijakan yang bisa dikatakan menjawabi persoalan. Sebab kebutuhan masyarakat terpenuhi.

Akan tetapi, kerjasama dalam bentuk pengadaan sumur bor tidak selamanya bernilai positif. Terdapat juga dampak negatif yang perlu diwaspadai bersama. Kenyataan ini dapat diterangkan melalui pengertian kata “farmasi”. Kata ini berasal dari bahasa Yunani Pharmakon, yang memiliki dua pengertian. Pertama, sebagai remedy, penyembuhan atau obat-obatan. Kedua, sebagai poison atau racun. Etimologi ini merujuk pada tata cara menggunakan obat-obatan sesuai dosisnya. Dengan demikian, sejatinya obat-obatan memang diciptakan untuk mengobati dan menyembuhkan. Akan tetapi saat digunakan secara berlebihan, maka obat-obatan tersebut dengan sendirinya akan berubah menjadi racun yang mematikan.

Pharmakon merupakan gambaran yang digunakan untuk menunjukkan aspek negatif sumur bor. Bahwa penggalian sumur bor pun memiliki konsekuensi negatif. Betul bahwa pengadaan sumur bor, berasal kesepakatan bersama antara masyarakat dan pemerintah. Akan tetapi ketika tidak ditata secara baik, maka kesepakatan itu akan berubah menjadi bencana yang mencedarai kehidupan bersama.

Resiko ini semakin mengemuka dalam dua gejala. Pertama, saat masyarakat mengalami kesulitan air, solusi yang selalu dipikirkan untuk diusahakan adalah pengadaan sumur bor (BdkHalamansembilan.com edisi 12/5/20). Kedua, banyaknya penyedia jasa penggalian sumur bor dengan ongkos yang relatif bisa dijangkau. Alhasil saat ini terdapat begitu banyak tempat dengan sumur bor. Pemandangan ini terlihat jelas saat melintasi daerah pesisir pantai, khususnya di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang. Ada begitu banyak sumur bor yang aktif digunakan.

Penggunaannya dapat diklasifikasi dalam dua bagian. Yaitu pada sektor publik seperti sekolah, perkantoran dan perhotelan. Serta sektor privat, seperti rumah tangga, lahan pertanian dan peternakan.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa sumur bor telah menjadi gejala sosial. Sehingga perlu dikaji secara cermat. Oleh karena itu beberapa pertanyaan perlu diajukan. Adakah regulasi yang mengatur keberadaan sumur bor? Bila ada, sejauh mana regulasi itu berfungsi dan mengapa fenomena sumur bor begitu menggejala? Bukankan air tanah yang dikeruk secara paksa dan massal, akan mempengaruhi persediaan air dalam perut bumi?

Jawaban yang diperoleh, terutama melalui percakapan dengan beberapa pihak yang telah melakukan penggalian sumur bor, mengatakan bahwa mungkin peraturan itu ada. Tetapi kami tidak mengetahuinya. Sejauh ini kriteria utamanya hanyalah membayar jasa penggalian sumur. Oleh karena itu, hal yang mereka buat adalah menyiapkan anggaran untuk dibayar kepada penyedia jasa sumur bor. Dengan itu pengeboran sudah dapat dilakukan sesuai dengan keinginan konsumen.

Lahan Bisnis

Keberhasilan mendapatkan air dengan menggunakan sumur bor, menjadi salah satu faktor yang memantik keinginan masyarakat untuk memiliki sumur bor. Sebab selain dipakai untuk memenuhi kebutuhan, kelimpahan air dapat dijual kepada sesama. Alhasil banyak orang mulai melakukan penggalian air dengan bor. Sehingga penyedia jasa sumur bor dan air hasil penggalian, menjadi barang yang laku diperdagangkan. Layaknya pasar, sumur bor dan air (hasil galian) telah menjadi komoditi unggulan.

Penyebab dasar yang mendorong keinginan masyarakat untuk memiliki sumur bor adalah perubahan perilaku. Thorstein Veblen menyebutnya dengan istilah konsumsi untuk pencitraan (Robert Bocock/1993). Artinya ada pergeseran pola konsumsi air. Yaitu dari kebutuhan kepada citra diri.

Terlepas dari kenyataan air sebagai kebutuhan primer manusia, analisis Veblen dapat kita benarkan. Sebab para pemilik sumur bor yang memperjual-belikan air, telah menjadikan sumur bor sebagai lahan bisnis. Atau tepatnya disebut sebagai investasi ekonomi. Bahkan sangat menjanjikan, karena keadaan alam yang kering serta tingginya permintaan pasar. Kesuksesan ini kemudian memberikan imajinasi yang memantik hasrat masyarakat untuk juga memiliki sumur bor. Sehingga banyaknya sumur bor saat ini, merupakan injeksi yang diimajinasikan oleh para pemiliki sumur bor terdahulu. Dengan itu, tujuan sumur bor dengan sendirinya berubah. Beralih fungsi dari konsumsi kepada identitas sosial.

Terhadap perubahan itu, kita dapat bertanya. Dengan kriteria manakah seseorang bisa mengklaim diri sebagai pemilik air tanah yang masih terkubur didalam perut bumi? Bukankah air tanah dalam keasliannya, yang diambil secara paksa (bor), dikategorikan sebagai pengrusakan alam? Kenyataan ini dapat saja tanggapi dengan argumentasi bahwa, hak atas tanah memberikan ruang bagi kepemilikan air tanah. Bahkan kepemilikan itu bisa diperluas dengan rumusan, pemilik tanah berhak atas segala sesuatu yang berada diatas tanah, serta segala sesuatu yang masih terkubur di dalam perut bumi.

Jawaban diatas dapat dimaklumi karena secara regulatif tertera dalam undang-undang pertanahan. Akan tetapi perlu diketahui juga bahwa, selain peraturan pertanahan, terdapat juga undang-undang yang mengatur sumber daya mineral. Serta terdapat peran Negara dalam hal ini pemerintah, yang pada tingkatan tertinggi, diberi wewenang sebagaimana digariskan dalam amanah konstitusional, untuk menguasai dan mengatur bumi, air dan kekayaan alam bagi kemakmuran rakyat secara adil.

Wewenang pemerintah mengatur kekayaan alam sebagaimana disebutkan, sepenuhnya harus dibaktikan bagi kesejahteraan masyarakat secara makmur dan berkeadilan sosial. Oleh karena itu, Pemerintah berhak menata serta mengelola bumi, air dan kekayaan alam sebagai milik bersama. Sebaliknya, ketika kekayaan alam tidak digunakan untuk kesejahteraan bersama pemerintah wajib mengintervensinya. Oleh karena itu keberadaan sumur bor perlu dikaji secara matang. Misalnya soal manfaat sosial sumur bor yang harus dirasakan semua warga masyarakat. Serta harus ada batasan terhadap jumlah sumbur bor. Tujuannya untuk tetap menjaga alam sebagai rumah bersama.

Wajah Keriput

Terlepas dari ketegangan normatif diatas, kenyataan yang terlihat saat ini adalah wajah alam mulai mengeriput. Sebab sejumlah tempat wisata alam yang dahulunya memiliki pesona eksotis.

Kini ditinggalkan pengunjung. Alasannya karena wajah alam semakin menua. Penuaan itu terlihat melalui berkurangnya debit air pada tempat-tempat wisata tersebut. Misalnya wisata air terjun. Atau sumber pemandian yang berasal dari mata air alami. Tempat-tempat tersebut mulai jarang dikunjungi. Bukan karena munculnya wisata modern seperti mall dan sebagainya. Tetapi karena daya tarik wisata alam dengan pesona airnya mulai menghilang. Tidak hanya itu, kehidupan masyarakat juga ikut terganggu. Sebab sumur air minum yang digali secara manual kini dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah. Lalu menggantungkan kebutuhan air pada pemilik sumur bor. Secara lebih luas fenomena itu terlihat juga pada areal persawahan. Tempat yang diakui bersama sebagai lumbung beras atau dapur masyarakat. Aktivitas tanam-menanamnya pun dihentikan karena ketiadaan pasokan air. Pepohonan yang hidup pada tempat- tempat yang dialiri air secara alamiah, kini mengalami kekeringan. Wajah alam sungguh telah berubah. Keberadaan sumur bor merupakan salah satu unsur yang menyebabkan perubahan itu. Sebab air tidak lagi dibiarkan mengalir sesuai kodratnya. Yaitu keluar dari perut bumi melalui sumber mata air, lalu mengalir ke tempat-tempat yang sudah ditentukan alam. Kini air telah diambil secara paksa dari perut bumi sehingga rotasi air terpotong. Jalur yang telah disediakan alam untuk dialiri kini mengering. Sebagai gantinya, manusia mulai berpaling dan mencari kesenangan pada dunia maya serta tempat wisata modern Sedangkan alam dibiarkan terlantar

Pertobatan Ekologis

Peristiwa kekeringan yang dialami manusia, menunjukan bahwa kehidupan manusia sepenuhnya tergantung pada alam. Apabila alam mengering, manusia turut mengalaminya. Sebaliknya alam yang indah dapat mempengaruhi kualitas hidup manusia. Sehingga kekeringan yang terjadi saat ini tidak sekedar menunjukan adanya pergantian musim dan waktu. Melainkan alam sedang bercerita tentang ulah dan ketamakan manusia. Oleh karena itu, masyarakat perlu memperbaiki sikap hidupnya dengan membangun pertobatan ekologis. Yakni merubah cara pandang terhadap alam.

Membangun suatu pola dan gaya hidup yang didasarkan pada kesadaran tentang pentingnya merawat alam. Akan tetapi perubahan tersebut tidak bisa hanya sekedar himbauan moral bagi setiap individu. Sebab yang dibutuhkan adalah pola dan gaya hidup sebagai masyarakat. Pola hidup itu harus melembaga sebagai suatu kebudayaan (Sonny Keraf/2014).

Cara sederhana yang bisa dilakukan adalah mendorong pemerintah untuk secara tertib mengatur regulasi penggunaan air tanah. Sehingga kepemilikan sumur bor bisa diimbangi dengan pelestarian alam. Tidak semua orang harus memiliki sumur bor. Bila perlu hal-hal esensial seperti air, dikelola oleh pihak berwenang. Sehingga distribusinya bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat. Semuanya ini tentang alam, rumah tempat tinggal kita bersama.

Yohanes V. Akoit

Rohaniwan katolik Tinggal di Jakarta

  • Bagikan