Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Caci Dari Manggarai Isi Festival Seni Pantai Lasiana

Senin, 19 Maret 2018

Laporan : Ellena Christine

Dr. Jelamu Kadispar NTT

Kupang, flobamora-spot.com – Budaya merupakan salah satu bentuk peningglan dari nenek moyang sekaligus sebagai ciri khas suatu daerah yang harus dijaga dan dilestarikan.

Untuk maksud itu,  Pemerintah Provinsi NTT melalui Dinas Pariwisata m

elakukan festival Seni di pantai Wisata Lasiana setiap hari minggu. Minggu 18 Maret 2018 merupakan Minggu ketiga Pagelaran Festival tersebut.

“Kegiatan ini dilakukan guna mengajak masyarakat NTT melestarikan budayanya”, Kata Kadis pariwisata Provinsi NTT Dr. Jelamu Ardu Marius kepada flobamora-spot.com di Pantai Wisata Lasiana Minggu.

Menurut dia, Dinas Pariwisata melakukan atraksi Budaya di Pantai Lasiana agar para pengunjung bukan hanya menikmati keindahan pantai, tetapi bisa melihat tarian-tarian yang ditampilkan ataupun bisa ikut serta menampilkan tarian dari daerah-daerah yang ada di NTT.

“Tarian yang ditampilkan ini bukan hanya dari daerah NTT tetapi ada juga

dari luar daerah. Jadi Minggu lalu itu kita menampilkan Barongsay, ada juga tari modern dance yang di tampilkan oleh anak-anak SMAK Giovani “ujarnya.

Ia minta Anak-anak NTT bisa menampilkan kreatifitas mereka masing-masing  sesuai bakatnya. “Mari kita promosikan budaya-budaya dari NTT , baik melalui seni lukis , tarian dan lain sebagainya “, jelasnya.

Masih menurut dia, Minggu-Minggu  yang akan datang dinas Pariwisata akan menampilkan berbgai macam kesenian untuk mempromosikan Pariwisata sampai ke luar NTT bahkan ke luar Negri. “ Berbagai kegiatan akan dilakukan di Kota Kupang dipusatkan di Lasiana.

Sekilas Tentang Tarian Caci

Caci atau tari Caci atau adalah tari perang sekaligus permainan rakyat antara sepasang penari laki-laki yang bertarung dengan cambuk dan perisai di Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Penari yang bersenjatakan cambuk (pecut) bertindak sebagai penyerang dan seorang lainnya bertahan dengan menggunakan perisai (tameng). Tari ini dimainkan saat syukuran musim panen (hang woja)[1] dan ritual tahun baru (penti) , upacara pembukaan lahan atau upacara adat besar lainnya, serta dipentaskan untuk menyambut tamu penting.

Seorang laki-laki yang berperan sebagai pemukul (disebut paki) berusaha memecut lawan dengan pecut yang dibuat dari kulit kerbau/sapi yang dikeringkan. Pegangan pecut juga dibuat dari lilitan kulit kerbau. Di ujung pecut dipasang kulit kerbau tipis dan sudah kering dan keras yang disebut lempa atau lidi enau yang masih hijau (disebut pori). Laki-laki yang berperan sebagai penangkis (disebut ta’ang), menangkis lecutan pecut lawan dengan perisai yang disebut nggiling dan busur dari bambu berjalin rotan yang disebut agang atau tereng. Perisai berbentuk bundar, berlapis kulit kerbau yang sudah dikeringkan. Perisai dipegang dengan sebelah tangan, sementara sebelah tangan lainnya memegang busur penangkis. Ksatria Caci memegang perisai (nggiling) dan penangkis (koret).

Peraturan

Caci dimainkan dua orang laki-laki, satu lawan satu, namun memukul dilakukan secara bergantian. Para pemain dibagi menjadi dua kelompok yang secara bergantian bertukar posisi sebagai kelompok penyerang dan kelompok bertahan. Caci selalu dimainkan oleh kelompok tuan rumah (ata one) dan kelompok pendatang dari desa lain (ata pe’ang atau disebut meka landang yang berarti tamu penantang).[1] Tarian Danding atau tandak Manggarai ditarikan sebagai pembuka pertunjukan caci. Penari caci tidak hanya menari namun juga melecutkan cambuk ke lawan sembari berpantun dan bernyanyi. Lokasi pertandingan caci biasanya di halaman rumah adat.[1]

Bila pukulan lawan dapat ditangkis, maka pecutan tidak akan mengenai badan. Kalau pecutan tidak dapat ditangkis, pemain akan menderita luka. Jika mata terkena cambukan, maka pemain itu langsung dinyatakan kalah (beke), dan kedua pemain segera diganti.[1]

Pertarungan berlangsung dengan diiringi bunyi pukulan gendang dan gong, serta nyanyian (nenggo atau dere) para pendukung.[1] Ketika wakil kelompok bertanding, anggota kelompok lainnya memberi dukungan sambil menari-nari. Tempurung kelapa dipakai sebagai tempat minum tuak yang dipercaya dapat menggandakan kekuatan para pemain dan penonton. Seperti layaknya pertandingan bela diri, sebagian penonton ada mendukung penyerang, sementara sebagian lagi mendukung pemain bertahan. Anggota kelompok atau penonton bersorak-sorak memberi dukungan agar cambuk dilecutkan lebih kuat lagi.

Kostum dan simbolisme

Caci berasal dari kata ca dan ci. Ca berarti satu dan ci berarti uji. Jadi, caci bermakna ujian satu lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah.[2]

Pemain dilengkapi dengan pecut (larik), perisai (nggiling), penangkis (koret), dan panggal (penutup kepala). Pemain bertelanjang dada, namun mengenakan pakaian perang pelindung paha dan betis berupa celana panjang warna putih dan sarung songke (songket khas Manggarai). Kain songket berwarna hitam dililitkan di pinggang hingga selutut untuk menutupi sebagian dari celana panjang. Di pinggang belakang dipasang untaian giring-giring yang berbunyi mengikuti gerakan pemain.

Topeng atau hiasan kepala (panggal) dibuat dari kulit kerbau yang keras berlapis kain berwarna-warni.[2] Hiasan kepala yang berbentuk seperti tanduk kerbau ini dipakai untuk melindungi wajah dari pecutan. Wajah ditutupi kain destar sehingga mata masih bisa melihat arah gerakan dan pukulan lawan.[2]

Bagian kepala dan wajah pemain hampir seluruhnya tertutup hiasan kepala dan kain sarung (kain destar) yang dililit ketat di sekeliling wajah dengan maksud melindungi wajah dan mata dari cambukan. Seluruh kulit tubuh pemain adalah sah sebagai sasaran cambukan, kecuali bagian tubuh dari pinggang ke bawah yang ditandai sehelai kain yang menjuntai dari sabuk pinggang.[3] Kulit bagian dada, punggung, dan lengan yang terbuka adalah sasaran cambuk. Caci juga sekaligus merupakan medium pembuktian kekuatan seorang laki-laki Manggarai. Luka-luka akibat cambukan dikagumi sebagai lambang maskulinitas.[3]

Caci penuh dengan simbolisme terhadap kerbau yang dipercaya sebagai hewan terkuat dan terganas di daerah Manggarai.[3] Pecut melambangkan kekuatan ayah, kejantanan pria, penis, dan langit.[3] Perisai melambangkan ibu, kewanitaan, rahim, serta dunia. Ketika cambuk dilecutkan dan mengenai perisai, maka terjadi persatuan antara cambuk dan perisai.[3]

Bagi orang Kabupaten Manggarai, caci merupakan pesta besar. Desa penyelenggara memotong beberapa ekor kerbau untuk makanan para peserta dan penonton.

 

  • Bagikan