Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Festifal Sarung Tenun NTT, Hadirkan Ribuan Orang Tanpa Budget

Sabtu, 02 Maret 2019
Laporan: Ellena Christine
Kupang, flobamora-spot.com – Untuk pertama kalinya sejak 60 tahun NTT hadir baru saat ini diselenggarakan Festifal Sarung Tenun NTT. Gubernur ganti gubernur tidak pernah ada gagasan spektakuler seperti ini. Tidak ada yang perlu disalahkan dalam hal ini, karena Setiap pemimpin yang lahir pada masanya memiliki program yang relevan dengan kobdisi saat itu. Program Pariwisata yang telah Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat tetapkan harus didukung dengan berbagai even. Festival Sarung Tenun NTT yang digagas Ketua Dekranasda Yuli Sutrisno Laiskodat adalah salah satunya.
“Festifal ini menghadirkan ribuan orang tanpa budget murah meriah tapi berdampak besar”, kata Istri Gubernur NTT itu kepada Media di sela-sela kegiatan festifal di arena Car free day Sabtu (2/3/2019).
Menurut Putri Konglomerat Jaman Soeharto Tomy Winata itu, meski baru pertama kali namun cukup banyak warga yang berpartisipasi.
“Bukan hanya datang tapi mau menampilkan tenunan – tenunan NTT dengan kekayaan intelektualnya”, urainya.
Lebih jauh ia mengatakan, lewat festiral ini NTT mau menunjukkan betapa akur mqsyarakatnya.
“Masyarakat yang dengan balutan tenun ikat NTT bukan hanya dari agama tertentu tetapi dari seluruh agama. Ini menunjukkan toleransi yang cukup tinggi. Kita mau katakan kepada dunia baik Nasional maupun Internasional bahwa kita bersatu kita damai. Datanglah ke NTT”, jelasnya.


Karo Humas Setda Provinsi NTT Dr. Jelamu Ardu Marius mengatakan, apa yang ditampilkan hari ini merupakan identitas masyarakat NTT.
“Mari kita membangun martabat bangsa kita yang tidak hanya kuat secara ekonomi tetapi kuat secara kultural. Inilah identutas bangsa yang sangat mahal. Ini adalah pride. Kalo kita mengembangkannya secara baik makq kita memberikan pride kepada daerah kita, bangsa kita”, ujar Mantan Kadis Pariwisata NTT itu.
Menurut dia, ketika orang dari suku tertentu memakai kain adat daerah lain akan terjadi dialog budaya. “Jadi dialog budaya itu tidak hanya verbalisasi, tidak hanya diskusi intelektual tetapi dengan mengenai atribut-atribut antara daerah”, ujarnya.

  • Bagikan