Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Cegah Berita Hoax, Bawaslu Gandeng Media

Aktivis Media Ana Djukana saat memaparkan materi di hadapan sejumlah awak Media dimoderatori Maria Yulita Sarina, S.E. komisioner Bawaslu kabupaten Kupang, Kamis (11/5).

OELAMASI, FLOBAMORA-SPOT – Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) kabupaten Kupang menggelar Media Gathering.

 

Kegiatan berlangsung Di Hotel Sahid T-More Kamis (11/5), menghadirkan Aktovis Media, Ana Djukana sebagai Narasumber.

 

Ana dalam Materinya mengatakan, untuk mencegah berita hoax, Bawaslu harus menggandeng media.

 

“Bawaslu selalu meluangkan waktu untuk mengundang media menyampaikan apa saja yang telah dikerjakannya, potensi potensi kecurangan, cara mengatasinya”, kata Mantan Pemred Harian Kursor itu.

Bawaslu juga bisa menyebarkan rilis kepada Media untuk disiarkan.

 

“Setiap aktivitas Bawaslu berkaitan dengan tahapan tahapan pemilu dan Pemilu 2024, rajin dibuat prees release atau siaran pers dibagikan kepada teman teman media, dimuat dalam website bawaslu”, tambah dia.

 

Menurut dia, Bawaslu maupun media, selalu skeptis. Jangan mudah termakan judul yang provokatif, apalagi langsung menyebarkannya Karena salah satu modus hoaks yang semakin banyak digunakan adalah mencatut nama media berita tertentu.

 

“Cara ini digunakan untuk memanipulasi publik agar lebih mempercayai isu hoaks dan ikut membagikannya. Jika pernah mendapat informasi yang mencantumkan nama dan logo media”, kata dia.

 

Lebih jauh ia mengatakan, jika memang informasi itu benar dimuat oleh situs tersebut, cek apakah situs media tersebut kredibel atau tidak.

 

“Cek juga keaslian foto yang disebar dengan memanfaatkan fitur geogle Image atau Yandex Image. Melalui fitur ini, kita bisa memvasilidasi asal muasal gambar yang beredar di media sosial. Cek melalui situs situs seperti cekfakta.com.
jika memang informasi itu benar dimuat oleh situs tersebut, cek apakah situs media tersebut kredibel atau tidak”, kata dia.

 

Ia menyebut, media massa memiliki keunggulan dalam mencegah berita hoax atau ujaran kebencian.

 

“Pertama, informasi yang disampaikan melalui proses verifikasi (sesuai kode etik jurnalistik) dan proses editing.
Kedua, media massa bisa menyebarkan lebih luas ide, gagasan, aktivitas”, jelas dia.

 

Ia mengatakan, meski memiliki keunggulan, media massa juga ada kelemahan.

 

“Kalah cepat karena harus memverifikasi informasi”, terang aktivis perempuan ini.

 

Menurut dia, Riset Universitas Taruma Negara Jakarta Tahun 2017 dan 2018 Direktur Serikat Jurnalis untuk Keberagaman atau SEJUK menyebutkan :45 Persen konten berita fokus pada konflik di media siber atau berbasis internet, -Perayaan Keagamaan dan – Hubungan Antar Pemeluk Agama.

 

“Berita penyelesaian konflik kurang ditulis. Berita tidak patuh pada kaidah jurnalistik dan panduan media siber.
Tidak cover both sides atau mengabaikan keberimbangan.
Pihak yang mempunyai kekuasaan lebih diberi ruang. Korban kelompok minoritas kurang mendapat ruang : Minoritas berbasis keyakinan dan agama serta minoritas berbasis gender dan orientasi seksual”, tegas dia.

 

Ia menyebut, Data yang dihimpun Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), jumlah hoaks yang tersebar di Indonesia pada 2019 mencapai 1.221 hoaks. Pada 2020 meningkat menjadi 2.298 hoaks. Mengutip tulisan Fransiskus Talokon dan Editor Ika Ningtyas Sekjen Aliansi Jurnalis Independen saat membawa materi untuk anggota AJI Kota Kupang dan beberapa wartawan media lainnya materi dengan judul “Kenali Modus Hoaks, Politik Bermuatan Agama di Setiap Pemilu menyebutkan issue agama seringkali digunakan sebagai hoax di momen pemilu.

 

“Hasil penelitian Wegik Prasetyo dari Research Centre for politics and Goverment (PolGov), menyebutkan hoaks isu agama di Indonesia sebenarya telah dipakai sejak Pemilu 2014, kemudian pada Pemilu Gubernur DKI Jakarta 2017 dan Pemilihan Presiden 2019”, tambah dia.

 

Mengapa hoaks issue agama ????

 

“Menurut hasil penelitian tersebut, hoaks yang mengandung issue agama digunakan karena sangat efektif memobilisasi suara dalam pemilu. Sementara para pemilih cenderung mengutamakan issue dan figur tokoh yang mempresentasikan agama tertentu daripada memilih untuk mendukung kandidat yang menawarkan program politik yang relevan dengan kepentingan publik”, terang dia.

 

Apa dampak dari penggunaan issue identitas, seperti issue agama?

 

“Jelas akan berdampak serius pada terbetuknya perpecahan atau polarisasi di masyarakat. Laporan BBC pada 2019, berdasarkan hasil survei Polmark, sebanyak 5,7 persen responden merasa bahwa Pilkada DKI Jakarta 2018 telah merusak hubungan pertemanan. Angka ini naik dari survei serupa pada Pilpres 2014. Saat itu, sebanyak 4,3% pemilih menganggap pilpres memicu keretakan hubungan pertemanan di masyarakat”, tambah dia.

 

“Oleh karena itu, saya mengajak kita semua tidak langsung mempercayai saat menerima informasi politik yang membawa issue agama. Bisa jadi, informasi itu adalah palsu yang dapat mengancam kerukunan umat beragama di Indonesia”, pungkasnya. (Ellena)

  • Bagikan