Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

May Niawati :”Kami Akan Kumpul CD dan BH) Sebagai Simbol Perlawanan”

Karang Dempel Lokalisasi Prostitusi terbesar di Kota Kupang sudah resmi ditutup 1 januari 2019, namun masih beroperasi sampai saat ini.

KUPANG, flobamora-spot.com – “Apabila tuntutan Kami tidak dipenuhi, maka kami bersama mantan pekerja seks akan melakukan aksi berupa pengumpulan dalaman bekas (CD dan BH) sebagai simbol perlawanan”.

Demikian ditegaskan, Koordinator Umum Alainsi Tolak Penggusuran Karang Dempel May Niawati dalam pernyataan Sikap yang diterima Media ini Kamis (3/10).

May Niawati tidak lupa membeberkan landasan tuntutan Aliansi.

Keputusan Pemerintah Kota Kupang untuk menutup Lokasi prostitusi di Kota Kupang, melalui SK Walikota Kupang Nomor 176/KEP/HK/2018, terkesan tebang pilih. Pasalnya, Surat Keputusan tersebut hanya diberlakukan untuk lokasi Karang Dempel di Kelurahan Alak, Kecamatan Alak, Kota Kupang.

“Sementara beberapa lokasi prostitusi lainnya yang justru terletak dekat kantor Walikota Kupang masih dibiarkan beroperasi. Pemberlakuan Surat Keputusan tersebut belum diikuti dengan komitmen Pemerintah Kota Kupang untuk meningkatkan kapasitas para pekerja seks (pelatihan alih skiil) serta intervensi modal usaha dan biaya pemulangan yang telah dijanjikan, menyisakan ketidakpastian yang berlarut-larut bagi pekerja seks khususnya yang berada di lokasi Karang Dempel, Kelurahan Alak, Kota Kupang”, urainya.

Problem ini menjadi titik bidik bagi pemerhati, Aliansi dan relawan kemanusiaan untuk terus mengawal persoalan ini. Memang jika ditelisik lebih jauh terkait alasan pemerintah Kota Kupang untuk menutup lokasi prostitusi di Kota Kupang, sejatinya dilatari oleh Surat Edaran Menteri Sosial yang esensinya mencanangkan target agar Indonesia pada tahun 2019 bebas prostitusi.

Namun bila mencermati latar belakang adanya prostitusi di belahan dunia manapun, akar persoalan pada lapangan ekonomi menjadi alasan utama. Hal ini berarti negara dalam argumentasi yang kontekstual telah gagal menjamin warga negaranya untuk memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang layak. Padahal secara hukum, selain dijamin dalam regulasi nasional, Indonesia telah meratifikasi kovenan hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) melalui Undang-udang Nomor 11 tahun 2005 yang pada substansinya berkomitmen atas pemenuhan hak-hak dasar rakyat termasuk kewajiban negara untuk menjamin penyediaan lapangan pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi rakyatnya. Kondisi ini bila dihubungkan dengan konteks Edaran Menteri dan Surat Keputusan Walikota Kupang tersebut hanya dapat dipahami dengan argumentasi secara moral tanpa mempertimbangkan akibat penutupan tempat-tempat prostitusi seperti meningkatnya pengangguran dan meningkatnya penyebaran HIV/ AIDS akibat hilangnya kontrol pemerintah, akan berpotensi terjadi praktek-praktek prostitusi terselubung.

“Berdasarkan catatan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Kupang, Jumlah ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) di Kota Kupang sebanyak 1.353 orang. Dari jumlah tersebut Wiraswasta menyumbang sebesar 20%, diikuti IRT sebesar 13%, pekerja seks sebesar 10% dan PNS sebesar 8%. Dari 10% pekerja sex ODHA, Karang dempel menyumbang 12 orang dari 126 pekerja seksnya juga pekerja seks rentan terhadap tindak kekerasan dan rata-rata pekerja seks tersebut berasal dari keluarga miskin yang berpendidikan rendah dan tidak memiliki keahlian tertentu”, tambah Niawati.

Fakta empirik yang terjadi pada tanggal 01 Oktober 2019, Dinsos Kota kupang bersama LSM yang bekerja sama dengan pemerintah, mendatangi mantan pekerja seks guna melakukan sosialisasi, dari hasil penyampaian ada 68 (enam puluh delapan) orang yang nantinya akan dipulangkan pada tanggal 04 Oktober 2019, hal ini sangat bertolak belakang dari data yang sebelumnya berjumlah 154 (seratus lima puluh empat), artinya masih ada 46 (empat puluh enam) orang yang masih terkatung nasibnya akibat dari penetapan Dinas Sosial Kota Kupang terhadap mantan pekerja seks yang masih berada di Karang Dempel.

“Info lain bahwa pada tanggal 04 Oktober 2019 akan dilakukan penyegelan apabila Mantan Pekerja seks menolak untuk dipulangkan atau dengan kata lain akan dipulangkan secara paksa tanpa mempertimbangkan mantan pekerja seks yang tidak mendapatkan bantuan modal usaha.

Persoalan lain, perlakuan intimidasi, diskriminasi yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Kupang dalam membuka identitas salah satu pekerja yang nantinya akan dipulangkan ke Kota asal. Sebut saja inisial (FF) yang ditelepon oleh Dinsos Kota Kupang ke Kepala Desa di Timor Tengah Selatan,” bahwa anaknya akan dipulangkan pada tanggal 04 Oktober 2019, karena Lokalisasi karang dempel tempat anaknya bekerja akan ditutup”. Atas pemberitaan tersebut, kepala desa langsung menyampaikan info kepada Ibu dari FF sehingga Ibu dari FF mengalami syok berat”, ucap dia.

Hal selanjutnya, ketika dicermati apa yang dijanjikan oleh Kementrian Sosial pada saat berkunjung ke Kota Kupang dalam rangka mensosialisasikan kepada Pekerja Seks di Hotel Maya, bahwa sebelum dipulangkan ke daerah asal, pekerja seks akan dibekali Peningkatan skill, sehingga dana yang disalurkan yang awal Rp. 5.500.000 menjadi Rp. 6.000.000 tepat sasaran dan tepat guna yang nantinya modal tersebut akan dipakai demi kelangsungan hidup yang lebih baik. Tetapi pada kenyataannya bahwa apa yang dijanjikan oleh Kementrian sosial hanya sebatas isapan

jempol belaka atau hanya janji manis untuk memenuhi kepentingan proyek saja.

Sejak dikeluarkannya SK Walikota Kupang Nomor 176/KEP/HK/2018 sampai detik ini Pemerintah Kota Kupang tidak pernah merealisasikan kepada pekerja seks dalam upaya peningkatan skill. Proses pemulangan terkesan adanya diskriminasi bagi pekerja seks yang berada di karang dempel, jika ditelusuri dengan semangat pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia menyebutkan. “ tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” Artinya setiap warga negara berhak untuk bekerja, baik itu di Kupang, di luar Kupang bahkan di Luar Negeri sepanjang bagi mereka (pekerja seks) ada tempat untuk sumber penghidupan. Oleh karena itu, proses penutupan Lokasi prostitusi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Kupang tidak melibatkan multi pihak dan pekerja seks agar kebijakan ini tidak terkesan pada pendekatan proyek tetapi pada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.

Selain itu problem lain dari kebijakan ini yaitu Koordinasi yang belum berjalan lancar atau masih terdapat jarak (gap) baik di tingkat Kementerian dengan daerah terkait mekanisme penutupan lokasi prostitusi.

“Akibatnya pekerja seks sering mendapatkan tindakan represif dan intimidasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Kupang dengan dalil penutupan lokasi prostitusi”, tegasnya.

Berdasarkan landasan di atas, Aliansi Tolak Penggusuran Karang Dempel menyatakan sikap “ MENOLAK DIPULANGKAN SEBELUM ADA PENINGKATAN KAPASITAS SKIL DAN MENDESAK PEMERINTAH KOTA KUPANG UNTUK MENUTUP TEMPAT PROSTITUSI LAINNYA DI KOTA KUPANG”.

“Aliansi Tolak Penggusuran Karang Dempel menuntut, Pemerintah Kota Kupang harus bersikap ADIL dan TIDAK BOLEH TEBANG PILIH dalam melakukan penutupan lokasi prostitusi di Kota Kupang

“Pemerintah Kota Kupang wajib memberikan peningkatan kapasitas (pelatihan dan peningkatan peralihan skill) pada pekerja seks selama 6 (enam) bulan pra pemulangan dan wajib dilakukan di Kota Kupang”, Tegasnya.

Point lainnya yakni Realisasi anggaran modal usaha kepada pekerja seks didistribusikan di Kota Kupang pasca peningkatan kapasitas.

“Realisasi anggaran modal usaha bagi seluruh Mantan Pekerja Seks yang berada di Karang Dempel berjumlah 154 Orang”, tambahnya lagi.

Ia minta, Pemerintah Kota Kupang tidak boleh melakukan intimidasi dalam bentuk apapun (razia) sebelum direalisasikan peningkatan kapasitas dan didistribusikan modal usaha pada pekerja seks di Kota Kupang. (Rilis / Sintus)

  • Bagikan