Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Wooow ! Korupsi dan Birokrasi Seperti Wanita Semok jatuh ke Pelukan Lelaki Tua, Mengapa Demikian ?

FPMCB3 dalam Forum grup discusion

Kupang, flobamora-spot.com – Forum Pemuda Mahasiswa Cinta Birokrasi dan Bermartabat (FPMCB3) Jumat, (30/8) menggelar Forum Grup Discusion (FGD) di Restoran In & Out. Hadir berbagai unsure Pemuda dan Pers dalam agenda itu. Apa hasilnya ? Simak ulasan berikut.

Korupsi dan birokrasi menjadi topik yang sungguh menarik untuk dibahas, seperti seorang wanita cantik, semok dan menggoda terjatuh dalam pelukan lelaki tua, mengapa demikian? Ssesungguhnya seorang birokrat sudah harus paham berbagai regulasi yang mengatur dan mengikatnya sebagai seorang ASN, karena fictie hukum menyatakan bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara dianggap diketahui dan mengikat setiap orang, sehingga ketika melihat ruang korupsi, harusnya menghindari namun nyatanya tidaklah demikian, Birokrat membiarkan dirinya terjerumus dalam pusaran korupsi, dan tidak membingkai dirinya dalam bingkai aturan.

Benarlah apa yang dikatakan Lon Fuller bahwa “tanpa hukum manusia akan menjadi sangat lain sifatnya”.

FGD yang digelar oleh Forum Pemuda Mahasiswa Cinta Birokrasi Bersih dan Bermartabat (FPMCB3) yang diketuai Agustina L. Haba S AB, M.Si dan Sekretariat Elvis Sabat, SE, itu menemukan berbagai kasus yang sempat menggelitik rasa kritis terhadap aturan dan kritis akan kemanusiaan karena terdapat kesalahan dan ketimpangan aturan yang diterapkan. Penerapan aturan diharapkan mampu menjadikan kondisi clean government dan good governance agar semua pihak merasa nyaman dan tenang dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Penyelenggaraan administrasi pemerintahan haruslah berdasarkan asas legalitas, asas perlindungan hak asasi manusia dan asas-asas umum pemerintahan yang baik sesuai dengan amanat pasal 5 UU No. 30 tahun 2014, namun jika melihat pada catatan kasus yang terpapar saat FGD berlangsung, bahwa di beberapa Kabupaten/Kota terdapat kasus penerapan aturan yang timpang dan tidak sesuai maka dapat dikatakan bahwa amanat pasal 5 tidaklah dijadikan rel dalam pelaksanaan administrasi pemerintahan.

Memang diakui bahwa masih banyak pejabat dan staf hukum pemerintah yang belum memahami secara benar prinsip-prinsip dan asas-asas hukum untuk menerapkan hukum (aturan). Indonesia sebagai negara hukum (pasal 1 ayat (3) UUD 1945), tentu hukum harus menjadi panglima dalam mengawal proses berbangsa dan bernegara, karena itu penerapan hukum positif pada warga negara yang dalam tindakannya melanggar aturan yang ada, haruslah diproses sesuai ketentuan yang berlaku.

Memang benar, UU Tipikor dan SKB 3 Menteri menghendaki untuk memecat Koruptor, sehingga haruslah dijalankan sesuai aturan tersebut namun jika melihat pada salah satu kasus yang paling banyak diangkat dalam diskusi dan sesuai dengan tema FGD ini yakni persoalan Rote Ndao yang mana keputusan Bupati Rote Ndao mengaktifkan kembali 16 oknum PNS Eks-Napi Koruptor sebagai pejabat di Rote Ndao, beberapa lainnya diberikan pensiun dini dan sisanya tetap diberhentikan tidak dengan hormat, dari total 26 oknum PNS yang dipecat karena kasus korupsi, menimbulkan pertanyaan. Pemecatan dan pengangkatan kembali seorang PNS Eks-Napi Koruptor apakah sudah sesuai dengan aturan yang berlaku?? Jangan biarkan ini menjadi catatan buram akan kebobrokan birokrasi di salah satu kabupaten terselatan NKRI.

Legal reasoning menegaskan bahwa ada tiga level yang harus dilakukan dalam mengkaji kasus di atas yakni mencari dasar hukum dari suatu fakta; menerapkan suatu aturan pada suatu fakta; dan memberi makna/ menafsir terhadap suatu putusan hukum.

Tiga hal diatas harus didudukkan pada porsi kasus yang tepat sehingga penerapan aturan pun juga tepat dan tidak boleh melakukan suatu tindakan di luar konteks aturan, karena unsur utama hukum (aturan) yakni menciptakan ketertiban, keadilan dan kepastian hukum bagi semua orang. UU Tipikor menganut asas non retroaktif dan menurut bentuk hukum, maka UU Tipikor termasuk dalam wujud hukum objektif yang mana dalam penerapannya, hukum tersebut berlaku umum dan tidak mengenal orang atau golongan tertentu, sehingga harusnya pada kasus Rote Ndao hukum berlaku sama (adil), sehingga tidak memberi preseden buruk terhadap hukum dan pelaku penerapan hukum, yang menganggap hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Pada kondisi di atas, perlu perhatian dan kecermatan seluruh pihak, khususnya Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dalam hal pengawasan terhadap penyelenggaran pemerintahan di Kabupaten Rote Ndao.

Sangat disesalkan bahwa Pemprov belum memberi tanggapan terkait permasalahan yang terjadi di Rote Ndao. Sudah harus dibentuk tim investigasi hukum untuk mengawal kasus ini, jangan memberi ruang bagi masyarakat untuk mengambil kesimpulan bahwa terjadi kong kali kong atau ekstrimnya “perselingkuhan jabatan” untuk memihak pada sebagian Napi Eks-Koruptor di Rote Ndao.

Kondisi ini tidak boleh menjadi contoh bagi Kabupaten/Kota lain yang ada di Nusa Tenggara Timur bahkan di bumi Indonesia tercinta. Berdasarkan diskusi teori dan paparan kasus yang disampaikan para narasumber dan peserta, maka FGD ini menghasilkan beberapa poin penting yang akan menjadi perjuangan bersama untuk membantu masyarakat dalam mendapatkan keadilan yang menjadi tujuan hukum, yakni:

  1. Pada kasus Rote Ndao dinilai terdapat beberapa kesalahan, karena itu akan dibentuk tim investigasi khusus untuk mengawal kasus ini, dengan bertumpu pada: a. Motif di balik keputusan yang dikeluarkan; b. Perspektif hukum (rujukan aturan) dari keputusan yang dikeluarkan; dan, c. Menganalis bukti surat keputusan yang dikeluarkan;
  2. Mendapatkan tanggapan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) atas kasus ini;
  3. Mendapatkan tanggapan Kemendagri, Kemenpan-RB, BKN, dan KASN atas kasus ini;
  4. Melakukan eksaminasi putusan; dan,
  5. Menempuh jalur hukum atas dugaan kerugian negara karena penggunaan dana silpa akibat dari dikeluarkannya Keputusan Bupati Rote Ndao Mengangkat / Mengaktifkan Kembali 16 oknum PNS Eks-Napi Koruptor.

Ke-5 (Lima) poin diatas yang akan menjadi perjuangan bersama semua pihak yang hadir dalam FGD, karena selalu harus ada perjuangan yang diperjuangkan demi tegaknya aturan dan kemanusiaan, serta demi rasa keadilan seluruh rakyat Indonesia. (Barto / Sintus).

  • Bagikan