
Oleh : Mario Djegho*
*Alumnus Prodi Ilmu Komunikasi, Undana – Kupang
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan sebuah provinsi kepulauan yang terdiri dari 22 kabupaten/kota. Sebagai sebuah provinsi kepulauan, NTT tentunya memiliki beragama jenis destinasi wisata baik yang telah diakui dan dikembangkan, maupun yang masih “polos” tak tersentuh tangan pembangunan. Perkembangan dan kemajuan pariwisata di NTT terbilang cukup signifikan beberapa tahun belakangan. Data dari BPS Nusa Tenggara Timur memperlihatkan kunjungan wisatawan ke NTT mengalami peningkatan dari 441.316 orang (374.456 wisatawan domestik dan 66.860 wisatawan mancanegara) pada tahun 2016. Jumlah tersebut terus meningkat pada tahun 2016 menjadi 496.081 orang (430.582 wisatawan domestik dan 65.499 wisatawan mancanegara) serta meningkat lagi pada tahun 2017 menjadi 616.538 (523.083 wisatawan domestik dan 93.455 wisatawan mancanegara). Angka tersebut akan semakin bertambah seiring pelaksanaan program kerja para kepala daerah yang lebih berorientasi pada ranah pariwisata sebagai prioritas utama pembangunan.
Berbicara tentang pariwisata sebagai prioritas utama pembangunan, maka ada tiga hal utama yang harus diperhatikan, yakni; pembangunan infrastruktur, perekonomian masyarakat, dan kelestarian lingkungan alam. Tiga hal tersebut harus diperhatikan dan diaktualisasikan secara bersamaan tanpa adanya dominasi sepihak. Artinya, pembangunan infrastruktur pendukung pariwisata harus diikuti oleh peningkatan perekonomian masyarakat setempat dimana pemanfaatan pariwisata sebagai pendapatan daerah juga harus bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya secara ekonomi. Hal tersebut harus dibarengi pula dengan pelestarian lingkungan alam. Mengapa? Karena dampak riskan dari pengembangan pariwisata adalah meningkatnya limbah anorganik yang rawan akan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, pengembangan ranah pariwisata di NTT harus berbasis pada pemberdayaan ekonomi masyarakat yang ramah lingkungan.
Pengembangan pariwisata di NTT pada umumnya melibatkan hubungan yang resiprokal antara pemerintah dan masyarakat. Hubungan tersebut terimplementasi dalam sebuah proses komunikasi pembangunan yang apik dan efektif. Menurut Nasution (2004) dalam bukunya Komunikasi Pembangunan : Pengenalan Teori dan Penerapannya mendefinisikan komunikasi pembangunan dalam dua arti. Yang pertama, secara luas komunikasi pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi (sebagai suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik) di antara semua pihak yang terlibat di dalam usaha; terutama antara masyarakat dengan pemerintah, sejak dari proses perencanaan, kemudian pelaksanaan, dan penilaian terhadap pembangunan. Sedangkan yang kedua, secara sempit komunikasi pembangunan merupakan segala upaya dan cara, serta teknik penyampaian gagasan, dan keterampilan-keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, ada tiga hal utama yang harus diperhatikan oleh pihak pelopor pembangunan (pemerintah) dan masyarakat, yakni; gagasan pembangunan, media penyampaian, dan evaluasi.
Yang pertama adalah gagasan pembangunan. Gagasan pembangunan di sini mencakup perencanaan dan model pengembangan yang akan diimplementasikan di lapangan. Dalam hal ini, pemerintah harus mampu menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam proses pengembangan pariwisata seperti; perumusan konsep pariwisata yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan, penyediaan lahan untuk objek destinasi hingga proses pengembangan, serta proses komersialisasi destinasi tertentu sebuah komoditi ekonomi yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat dan ramah lingkungan. .
Yang kedua adalah media penyampaian. Media penyampaian di sini mencakup media publikasi dan para praktisi pariwisata. Media publikasi mencakup media massa yang berperan sebagai promotor atau wadah promosi agar pariwisata NTT semakin dikenal masyarakat sebagai bagian dari program pembangunan pemerintah. Lalu yang terakhir adalah praktisi pariwisata yang berperan sebagai pendamping masyarakat dalam proses pengembangan pariwisata di lapangan demi memperoleh tujuan yang lebih baik.
Yang ketiga adalah evaluasi. Evaluasi di sini merupakan suatu bentuk penilaian atau apresiasi yang harus dan wajib dilakukan oleh pemerintah dari segi perencanaan, pelaksanaan, hingga penyelesaian akhir segala gagasan pembangunan di lapangan. Evaluasi sangat penting dalam proses penyusunan saran, indikator, dan pedoman pembangunan yang mesti dilaksanakan pada tahun anggaran berikutnya.
Dalam proses komunikasi pembangunan tersebut, eksistensi aktor lokal adalah domain utama yang diperlukan proses pengembangan pariwisata yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat yang ramah lingkungan. Kehadiran aktor lokal sangat penting karena pengaruh kedekatan (proximity) yang ditimbulkan mampu mempersuasi masyarakat lokal dalam mengembangkan pariwisata. Lalu siapakah aktor lokal? Aktor lokal merupakan anggota masyarakat setempat yang dianggap memiliki kapasitas dan aksesibilitas yang mumpuni sebagai influencer (pendorong). Perhatian yang intens terhadap eksistensi aktor lokal sesuai dengan paradigma pembangunan menurut Nasution bahwa manusia (baca : masyarakat) mampu berbuat dan menciptakan sejarahnya sendiri sehingga manusia harus menjadi fokus dan sumber utama dalam pembangunan. Manusia haruslah menjadi sumber utama dalam pembangunan agar manusia itu sendiri menjadi manusia yang utuh dan merdeka atau secara ekonomi produktif dan secara sosial efektif.
Servaes dalam Nasution (2004) menyatakan bahwa setiap proses pembangunan harus dipahami sebagai suatu proses yang integral, multidimensional, dan dialektis sehingga masyarakat harus menemukan strategi pembangunannya sendiri. Artinya, masyarakat harus mampu berdaulat atas potensinya dan merdeka dalam distribusi sosial. Maka dari itu, dalam pesan pembangunan yang hendak diimplementasikan dalam kebijakan positif-kontruktifnya semua pihak harus berpijak pada lima asas utama pembangunan menurut Servaes yakni; berorientasi pada kebutuhan, seperti kreativitas, inovasi dan keadilan sosial menurut kapasitas masyarakat, berpijak pada konsep endogeneous yang bertolak dari inti dan potensi lokalitas masyarakat yang berdaulat dalam pembangunan, mengandalkan kemampuan masyarakat secara aktif dan produktif, berasaskan pada ekologi yang baik dan bersandar pada transformasi struktural demi kepentingan bersama. Pada akhirnya, pemerintah dan masyarakat harus bertindak secara resiprokal dan saling bersinergi secara kooperatif guna terwujudnya program pengembangan pariwisata di NTT.