Demi Merah Putih

  • Bagikan


Oleh : Mario Djegho*
*Alumnus Seminari Mataloko,
Peminat Komunikasi Antar/Lintas Budaya

Dalam sebuah filsafat eksistensialisme, Gabriel Marcel pernah mengangkat sebuah pemikiran tentang cinta yang sangat kuat. Menurutnya, cinta adalah inti kehidupan yang berproses dalam hubungan manusia. Cinta yang memanggil manusia untuk mengadakan hubungan eksistensial yang diawali dengan kesediaan membangun sebuah hubungan (disponibilite), melibatkan diri dalam sebuah hubungan (engangement), hingga pemberian diri secara total dalam sebuah hubungan (fidelite) yang dirasakan melalui sikap setia. Dalam pemikiran itu, cinta menjadi sentral dalam sebuah relasi sehingga menjadi satu komunio. Namun yang menarik dari pemikiran Gabriel Marcel adalah bahwa cinta dalam hubungan intersubjektif juga menunjukkan suatu kreativitas yang menjadikan sesuatu ada dari yang semula tidak ada. Oleh karena itu, cinta juga berdaya kreatif.
Tidak terasa bangsa tercinta ini telah memasuki usia 74 tahun. Sebuah kurun waktu yang telah menjadikan bangsa ini bersatu dalam cinta yang universal ketika realitas perbedaan menjadi pemersatu atas nama bhineka tunggal ika. Seperti halnya cinta menurut Gabriel Marcel sebagai sebuah hubungan eksistensial, bangsa ini telah bertumbuh dalam sebuah relasi yang menuntut segenap tumpah darah Indonesia untuk bersedia membangun hubungan atas nama persatuan, melibatkan diri dalam fraternitas yang heterogen, serta memberikan diri secara total dalam semangat nasionalisme dan patriotisme sebagai sebuah kesetiaan terhadap merah putih. Oleh karena hubungan eksistensial tersebut maka bangsa Indonesia akan selalu berpijak di atas asas perdamaian.
Persatuan, kesatuan, dan nasionalisme merupakan tiga indikator utama yang menjadi penanda esensial dan eksistensial dari sebuah konsep perdamaian di tanah air Indonesia dengan ribuan gugusan pulau dan keragaman kebudayaannya. Menurut Liliweri, konsep tentang perdamaian merentang antara agama dan kebudayaan karena ia berkaitan erat dengan nilai-nilai seperti keamanan dan keselarasan, martabat dan keadilan. Hal tersebut menjadi sebuah tuntutan ketika konsep perdamaian diadopsi sebagai sebuah nilai dan keniscayaan dalam berbagai lembaga kemasyarakatan, termasuk agama sebagai sebuah institusi sosial-religius. Pengimplementasian konsep perdamaian Liliweri tersebut senada dengan pernyataan Eric Weil (1904-1977), seorang pemikir dan aktivis perdamaian bahwa setiap orang adalah pembawa kedamaian dan bertanggung jawab untuk melestarikan perdamaian itu. Hal itu menjadi bukti bahwa semua orang harus memiliki kesadaran sosial dan keyakinan sebagai pendorong tindakan sosial demi perdamaian. Mengapa? Karena perdamaian bisa menjadi nyata dalam kehidupan bersama yang diwarnai oleh kerja sama, dialog, solidaritas, saling menghormati, saling menghargai, saling menolong dan hidup bersaudara.
Jika sejenak mengulang memori di waktu lalu selama kurun waktu 74 tahun ini maka ada begitu banyak problematika yang minus akan aktualisasi perdamaian. Maraknya penyebaran kebencian, politisasi agama, prasangka dan stereotipe sosial, diskriminasi, hingga teriakan adu domba mereka yang merasa diri setara dengan Tuhan menjadi indikasi adanya perpecahan yang sarat akan sikap antagonistik kelompok di dalam hubungan eksistensial bangsa ini. Oleh karena itu, sudah seharusnya seluruh masyarakat Indonesia merajut kembali cinta dan menebar perdamaian secara kolektif demi terwujudnya persatuan Indonesia yang adil, makmur, dan beradab. Hal tersebut sesuai dengan pemahaman kritis yang oleh Jurgen Habermas disebut reflektivitas, yakni suatu proses permenungan yang berguna dalam membaca dan menafsirkan dinamika demokrasi, sehingga seluruh rakyat Indonesia harus merenungkan kembali semangat nasionalisme sambil menafsirkan semua realitas demokrasi. Proses aktualisasi cinta dan perdamaian serta asas reflektivitas tersebut bisa terimplementasi secara nyata melalui sebuah proses komunikasi antar budaya yang efektif.
Menurut Liliweri, komunikasi antar budaya yang efektif adalah interaksi antar budaya dimana pelaku-pelaku di dalamnya mampu menjaga keseimbangan dan relasi komunikasi di antara dua kebudayaan yang berbeda. Dengan demikian bila seseorang belum mampu menghadapi dan menerima perbedaan-perbedaan budaya maka ia belum berkomunikasi antarbudaya secara efektif. Hal itu pada akhirnya mampu memperbaiki kerusakan simetrisitas sosial yang merupakan relasi antara manusia dengan dirinya (intra subyektif) dan dengan orang lain (antar subyektif).
Pola komunikasi antar budaya yang efektif pada dasarnya memiliki tiga fungsi utama, yakni fungsi integrasi sosial, fungsi kognitif, serta fungsi sosialisasi nilai. Fungsi integrasi sosial berarti komunikasi antar budaya adalah “penyatu” bagi orang-orang yang terlibat dalam proses komunikasi itu sehingga setiap orang akan berupaya untuk saling menghargai dan menerima satu sama lain. Dengan demikian akan tercapai suatu integrasi sosial dan menghindari berbagai konflik horizontal. Kemudian fungsi kognitif berarti komunikasi antar budaya memberikan pengertian dan pengetahuan kepada setiap orang yang melakukan proses komunikasi sehingga mengetahui dan memahami identitas setiap pribadi. Hal itu bisa meminimalisir stereotip dan prasangka sosial sehingga terwujudnya nilai toleransi dan kesetaraan. Dan yang terakhir adalah fungsi sosialisasi nilai yang berarti bahwa komunikasi antar budaya merupakan bagian integral dari proses pembelajaran dan pewarisan nilai-nilai luhur seperti kebhinekaan, toleransi dan kesetaraan bagi sesama dan generasi selanjutnya.
Pada akhirnya semua pihak harus mampu merajut cinta dan menebar perdamaian melalui proses komunikasi antar budaya yang efektif. Segenap tumpah darah Indonesia harus mampu berjuang dan berjalan bersama dalam kerangka dialog antar budaya, tanpa adanya sentimen tertentu. Semua harus mampu berdiri kokoh layaknya Garuda yang kuat mencengkram asas Bhineka Tunggal Ika dengan idealisme yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Semoga!

  • Bagikan