Antara rupiah dan politisi

  • Bagikan
Bie Obe Atik Bacaleg Demokrat TTS.

SO’E, FLIBAMORA-SPOT – Rupiah sering menjadi momok bagi semua manusia yang bermukim di Indonesia, yang konon tanpa rupiah abang dibuang tapi jika ada rupiah abang akan dielus-elus disayang-sayang bahkan dinina bobokan. Jika disematkan pada pertukaran dan perputaran rupiah pada dunia politik akan terjadi pergolakan panjang antara akal sehat, pragmatisme dan juga transaksional dalam membeli kekuasaan.

 

Akal sehat selalu memiliki naluri panjang menuju kekuasaan dengan cara yang bersih, jujur, adil, sopan, santun, lemah lembut bermartabat dan berperikemanusiaan. Akal sehat selalu mengajarkan pada nilai budi pekerti yang luhur sesuai budaya bangsa. Menanamkan nilai kebaikan pada fase tertentu dan menjaga serta merawat agar tumbuh dan berkembang menjadi payung kebaikan di setiap lini kehidupan bermasyarakat.

 

Namun pragmatisme selalu hadir menjadi benalu bagi masyarakat yang sudah tertanam nilai luhur bangsa dari tempo dulu. Menggeser nilai dan makna kehidupan yang bersih dan peduli sesama dalam membangun masyarakat yang memiliki karakter paripurna seperti yang diidamkan oleh para pendiri bangsa. Masyarakat sering menjadi komoditas politik pragmatis oleh segelintir politisi demi ambisi kekuasaan atau jabatan semata yang hanya akan bertahan 5 tahunan dalam pertarungan PILEG dan PILKADA yang selalu menghamburkan recehan rupiah demi kedudukan semata.

Pragmatisme politik yang tersemat pada para politisi selalu berkonotasi negatif karena dimana ada pertarungan perpolitikan yang ada adalah politik uang (money politic) yang selalu menjadi penentu kemenangan dan juga dukungan dari para pemodal yang ikutan bermain dalam mengamankan proyek-proyek yang akan dibahas dalam penyusunan anggaran DPR bersama Pemerintah. Dari sini dapat kita ketahui bahwa persekongkolan antara politisi, pengusaha dan penguasa sangat kuat dan ketat. Siapa yang mampu menggelontorkan cuan dalam pertarungan akan mendapatkan apa yang di inginkan. Ada ikan teri, tembang, kakap, kerapu, lumba-lumba dan juga paus. Tergantung bagaimana cara pemodal bermain dalam pertarungan ini. Maka politik transaksional yang akan menjadi penentu diujung pena para penentu kebijakan untuk mendapatkan tanda tangan dokumen kesepakatan dalam penentu hasil akhir pertarungan.

 

Akan tetapi transaksi politik yang selalu menjadi garis finis perolehan kedudukan para politisi. Nomor urut politisi tidak menjadi ukuran kemenangan akan tetapi yang menjadi penentu kemenangan akhir adalah transaksi bersama konstituen dalam serangan fajar yang menjadi penentu laga dalam percaturan di bilik suara. Rupiah dalam transaksi politik memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif adalah konstituen mendapatkan rupiah dengan cuma-cuma namun dampak negatif adalah konstituen menggadaikan harga diri demi membantu politisi untuk melakukan transaksi kejahatan maling berdasi jika terpilih dalam laga menjadi senator di legislatif. Walaupun tidak semua senator legislatif melakukan hal kotor dalam transaksi rupiah dalam pemilihan namun sudah menjadi rahasia umum para politisi dan konstituen bekerja sama dalam kejahatan terencana.

 

Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya politik rupiah dalam transaksi pragmatisme di PILEG dan PILKADA masyarakat harus diberikan pendidikan politik untuk menghindari politik transaksional oleh politisi yang memiliki niat busuk dalam memperoleh jabatan. Hindari politik uang dalam memperoleh jabatan dengan menunjukkan kemampuan dalam berdiplomasi dengan ide dan gagasan dalam menyelesaikan masalah, menghadirkan program-program pembangunan yang mendewasakan masyarakat dalam membangun daerahnya. Jadilah pelopor kebaikan dalam membangun masyarakat yang berbudaya luhur dan berkarakter. Jaga kebhinekaan dalam berbangsa dan bernegara. Salam Demokrasi. (Bi Obe).

  • Bagikan